
“Kekuatan Yang Korup & Kelemahan Yang Mungkin Lebih Korup”
Kekuasaan adalah wujud dari adanya KEKUATAN. Dan sudah sering kali kita mendengar bahwa kekuasaan itu cenderung untuk korup. Namun apakah faktanya selalu demikian? Bahwa kekuasaan adalah satu-satunya pintu untuk korup?
Bagaimana dengan KELEMAHAN?
Kekuasaan sudah jelas banyak tercatat jejak sejarahnya dalam hal merusak tatanan kemanusiaan, namun sebagai sebuah penyebab, kekuasaan justru hanya bisa menghinggapi segelintir saja orang pada setiap konteksnya.
Segelintir orang ini lah yang kemudian membawa kerusakan yang lebih luas lagi dengan memanfaatkan KELEMAHAN orang yang mempercayainya, dan memang cara termudah berkuasa adalah dengan mengolah harapan si lemah.
Namun jika kita amati, KELEMAHAN sendiri memiliki daya rusak yang tidak kalah dahsyatnya, dan mampu lebih mudah untuk menghinggapi lebih banyak lagi orang ketimbang kekuasaan itu sendiri.
Berangkat dari rasa takut dan merasa selalu sebagai korban, maka buah dari kelemahan adalah lahirnya Kebencian, Kedengkian, Kekasaran, Intoleransi, dan Kecurigaan serta Kemarahan yang bagai tiada akhir.
Seringkali Kebencian kita terhadap orang yang memiliki lebih dari apa yang tengah kita miliki (entah dalam konteks kekuasaan, kekuatan, kemampuan, keterampilan, akses pada sumber daya, dan lain sebagainya) bukanlah muncul dari ketidakadilan ataupun kesombongan yang mereka (tidak pernah) lakukan terhadap kita, melainkan lahir dari rasa ketidakmampuan dan berbagai bentuk kegagalan kita sendiri selama ini.
Bahkan terkadang, bantuan dan kebaikan dari orang yang memiliki kelebihan atas diri kita tidak jarang kita terjemahkan sebagai sebuah penghinaan, atau bahkan bentuk lain dari penindasan!
Tidak sedikit reaksi semacam ini terjadi, saat mendapat bantuan dari orang lain, alih-alih berterima-kasih malahan ribut memaki tanpa pernah menyadari akan semakin hilangnya kemampuan untuk mensyukuri nikmat Illahi.
Kelemahan atas diri sendiri membuat kita semakin menghayati peran sebagai korban-korban yang terzalimi oleh segalanya kecuali diri kita sendiri, yang sayang sekali jika ternyata itu semua hanyalah ilusi.
Demikianlah drama kita para manusia.
Selama kita terus merasa bahwa orang lainlah yang tengah sakit, maka semua obat yang menghampiri kita akan tertolak dengan mutlak.
Ketidaktahuan lah yang menjadi salah satu akar semua ini, dan kemudian Ketidakmautahuan menjelma menjadi bensinnya, yang berujung pada api kemarahan yang tak kunjung mereda begitu lama.
Ketika kita lalu berkumpul dengan mereka yang memelihara perasaan yang sama, maka dari situ maujud rasa kebenaran yang semu, hanya atas dasar kesamaan kebencian, namun terlihat mirip sekali dengan kebenaran dan kenyataan.
Lalu apa yang perlu kita lakukan jika kita mengalaminya saat ini?
Sadari sejujur-jujurnya bahwa segala bentuk kebencian yang telah terpelihara selama ini tidak pernah membuat keadaan kita menjadi lebih baik lagi.
Bahkan hampir selalu akan ada pihak yang kemudian bermunculan sebagai pahlawan agak kesiangan yang tampil sebagai pembawa cahaya harapan, yang ujungnya hanya akan mengkapitalisasi kebencian kita sebagai alat mereka untuk ganti mencari kekuasaan dengan jalan menggalang kelemahan dan ketakutan kita sebagai kekuatan bagi mereka.
Menari di atas bangkai sesama adalah lagu yang selama ini dinyanyikan, dan banyak diantara kita yang menjadi alas kakinya dengan begitu bangga dan penuh percaya diri sambil tak lupa memaki di setiap hari dan pada setiap kesempatan yang ada.
Untuk keluar dari sebuah penjara, maka langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah menyadari sepenuhnya bahwa kita betul tengah ada di dalam penjara.
Sebab, selama kita tidak pernah merasa terpenjara, maka tidak akan mungkin ada rasa dan daya-upaya untuk berusaha membebaskan diri keluar darinya.
Bagaimana mungkin orang yang tidak merasa sakit akan mau menelan obatnya yang pahit?
Kita telah lebih pandai dalam menipu dan memenjarakan diri sendiri agar bisa menjustifikasi apapun kelemahan dan keadaan kita saat ini, ketimbang bangkit berjuang untuk mengubah segala yang masih bisa diubah menggunakan kekuatan dan apapun anugerah Tuhan yang sedang ada pada kita sekarang ini sebagai suatu kemauan untuk mengalami perubahan dalam berkehidupan.
Yang lebih banyak terjadi kini, kelemahan telah digunakan sebagai lantaran untuk mengutuk kekuatan, dan dengan demikian, hilanglah kekuatan dengan perlahan-lahan, berganti menjadi semakin besarnya kelemahan.
Ironisnya, menguatnya kelemahan tidak otomatis bisa dijadikan kebaikan karena kelemahan yang dijadikan alasan hanya akan membakar kebencian dan kemarahan yang makin tak berkesudahan.
Maka janganlah pernah membagi kelemahan kita kepada siapapun, apalagi dengan penuh kebanggaan, sebab kita tidak akan pernah benar-benar tahu siapa nanti yang akan memanfaatkannya demi membangun kekuatan di atas remahan kehidupan yang semakin dilemahkan.
Belajarlah terus untuk mengenali dan menerima kelemahan kita setiap hari dan menjadikannya sebagai pintu petualangan dalam menemukan berbagai kekuatan kita yang masih tersembunyi.
Bahkan Tuhan pun senantiasa mengajak kita bermain untuk mencari-Nya di dalam setiap Ketersembunyian-Nya.
Menjadi lemah itu mudah, tetapi yang terkuat adalah menerimanya sebagai isyarat untuk berubah.
Kini, berhentilah mengutuki kegelapan dan segera keluarlah dari lubang yang penuh bayang-bayang, sebab di luar sudah lama ada cahaya terang yang benderang.
Dan jadilah pelita bagi diri kita sendiri, karena mungkin saja akan ada yang menanti hadirnya sejumput cahaya untuk mengisi hidupnya kini, dan mengubah mimpi menjadi aksi yang penuh inspirasi!
(Jhody Arya Prabawa)
Salam NeoSentra!
Bersyukur🙏
Berdoa🤲
Bahagia👍
Dan Teruslah Berkarya✊
#NeoSentra
0 Comments